Belum Punya Judul

Mesjid yang megah serta rumah yang nyaman

Subuh hari mulai datang, ketika itu dinginnya cuaca desa sangat menusuk kedalam raga ini, bahkan rasanya untuk bangkit dari tempat tidur saja aku enggan, namun kewajibanku sebagai umat yang beragama tak ingin ku lewati. Apalagi aku tinggal di sekeliling orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang agama yang tinggi, bukannya aku malu dengan mereka tapi karena semua itu memenang sudah menjadi kewajibanku untuk melaksanakannya.

Ini memang hal yang pertama kali kurasakan, dinginya embun pagi di desa ini. Karena memang aku baru menginjakkan kakiku diperdesaan ini. Berlahan-lahan ku mulai berangsur-angsur meniggalkan tempat tidurku dan bersegerah untuk besiap-siap pergi kemesjid. Suara adzan berkumandang dimesjid yang begitu indah dan sangat menggagumkan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Dan ku langkahkan kaki ini menuju masuk ke dalam mensjid sambil mulutku berkomat kamit membaca ayat-ayat suci. Dari kejauhan mataku tak terputus-putusnya memandang keagungan mesjid ini.

 Selesai aku melaksanakan shalat subuh barulah aku pergi berjalan-jalan mengellingi kampung yang indah ini, Dengan dihiasi danau yang luas melintang dan di sepanjang jalan berbaris rumah-rumah penduduk yang masih perawan bangunannya, bukit-bukitpun menambah indahnya pemandangan yang membuat fikiran fres dan mengilangkan rasa jenuh dan gelisah, cocoklah buat sausana hatiku saat ini, di samping aku bisa berrekreasi akupun dapat menenagkan diri sejenak dari masalah yang kuhadapi dengannya.

Karena sang fajar tlah mulai beranjak agak tinggi aku segera pulang ketempat sahabatku.

“Dari mana sohib, aku kira kamu lenyap menghilang dari sini” kata sahabatku

“Ooo nggaklah, aku habis dari mesjid, truss keling-keling kampung sini deh, tadinya aku bangunkan kamu, ehh kamunya kenakkan tidur, dasarr keboook dan tidurnya ngorok lagi” gurauku pada sahabat yang tlah lama rasanya aku ngak pernah ketemu sama dia

“ahhhh kamu, kayak nggak juga, kitakan sebelas duabelas”

“yach… yachh dehh”

Makanan telah terhidang didepan mata, menu makan disini beraneka ragam. Rasanya aku sanggat sungkam di buatnya, namun beginilah tradisi di kampung ini. Jika ada tamu rumahpun sudah seperti ada pesta. Ibu Dika yang sangat baik yang tlahku anggap sebagai ibu kandungku sendiri menyuruh kami menyamtap hidangan tersebut.

“ Ayoo. Ayooo makan lagi, ntar keburu dingin makannya kan nggak enak jadinya” sambil menghidangkan makan di meja makan.

“ya bu.. makan lagi yukk, kalau kayak gini makanannya ngk bakal menolak nih perut kosong buk” kataku

“hahahahahaha… kamu, kalau soal makan rajanya” sahut sahabatku

Kami segerah menyantap makanan yang telah terhidang, canda tawa serta gurau antara aku dan sahabatku bersama ibunya membuat suasana tempat makanan seperti sudah di pasar ramainya, maklum kami sudah lama tidak berkumpul-kumpul lagi setelah 2 tahun kepergian papa dika.